TBM 6 Hari
Hai hai, postingan ini udah kuno banget, yesh very late post. Tapi kenangannya ga akan kuno kok, karena terlalu berharga #eaa.
Jadi, alkisah, ikutlah diri ini sukarela jadi TBM KWI FMIPA di Tanggamus selama 6 hari. Gue ga sendirian, ada Lulu, Nana, Gusti, Rosy, Yudha, dan Brandon yang berangkat. Mungkin kalau gue orang yang perhitungan banget, pengalaman TBM ini bakal disiain, karena membuang waktu liburan hampir 2 minggu itu boros terutama buat anak rantauan. Sayangnya gue ga pernah sekalipun jadi TBM dan pingin punya pengalaman seperti kawan-kawan yang udah pernah dan terlebih daftar mimpi yang harus dicoret lg hehe. Pengalaman tambahan jadi pj bus (again) setelah munjam, untungnya ga 'berantem' sama pak supir :')
Sampai di Tanggamus ternyataaa, so pedalaman tapi di daerah dataran tinggi. Sepanjang perjalanan rumah-rumah warga sebagai home stay terlihat. Jumlahnya ada 50 rumah untuk peserta + 4 rumah panitia, dengan total keseluruhan kira-kira 1000 orang. Banyak. Banget. Parahnya lagi jarak 50 peserta itu ga deket atau sebrang-sebrangan. Soo jauh, bahkan ada rumah yang harus dijangkau dengan motor panitia :') Jadi ketika ada acara di pusat acara, mereka harus jalan, sejauh jalanan yang membawa mereka ke bawah dan penuh lika-liku. Kalau acaranya malam, mereka diizinkan kalau ga ikut (iyalaah jalan jauh dan gelap ga ada yang mau juga).
Hari pertama: pembukaan + perkenalan dengan tim medis dari panitia dan temen-temen KSR PMI di kampus. Kerjaan pertama, terpadat, dan tergupek. Acara mulai siang dan matahari sangat terik, ditambah peserta yang jalan kaki dan sebagian memiliki riwayat penyakit masing-masing. 3 peserta asma dan 1 demam. Malamnya aman.
Hari-hari berikutnya dengan rutinitas yang sama (re: jaga pos dan keliling), makan siang berjama'ah, bersih-bersih, makan malam berjama'ah, check malam. Rata-rata banyak keluhan pusing, batuk, flu, demam tapi ga lama, pegel-pegel (daerah yang jauh). Bahkan banyak pengalaman yang ditelpon bilangnya demam dan ketika sampai disana ternyata udah ga demam, dan sebagainya. Ada yang lagi demam tapi malah dateng ke acara, ada yang demam malah berjemur, ada yang demam tapi sempet masak, ada yang ..... pokoknya macem-macem.
Terlebih lagi gue mulai mengerti perasaan tim kesehatan: ternyata selain ilmu dan anamnesis, pasien yang kurang kooperatif juga mempengaruhi proses diagnosis dan terapi. Banyak cerita kelompok tim K2 yang bertugas ketemu dengan peserta yang ditanya keluhan dkk cuma jawab "hmm" dan isyarat lainnya. Entahlah kenapa mereka terlalu tertutup :')
Selain itu edukasi sangaaaat perlu! Terutama pemberian dan cara makan obat. Jujur kami masih semester 3-mau-ke-4 dan kita cuma tau obat-obatan umum dan yang udah dikuliahin. Dan melihat kondisi peserta juga yang gejalanya baru muncul di hari pertama atau dadakan, kami belum berani kasih apa-apa, terutama keluhan "demam". Selain itu karena terngiang-ngiang omongan dosen, kami ingin mengurangi ketergantungan obat padahal kalau dibawa istirahat toh juga sembuh (efek jarak jauh). Jadi as long as belum parah dan butuh banget obat, kami cuma bisa kasih vitamin dan edukasi karena yang lebih tau keadaan diri sendiri ya peserta tersebut :"
Tapi ada kasus yang berat: demam tifoid, mimisan idiopatik, asma yang parah karena ternyata sebelumnya ada riwayat kecelakaan. Mereka harus pulang demi keselamatan mereka.
Yang pasti 6 hari ini diri gue tertampar, banyak hal yang harus dibenahi, karena ketika udah pakai jas putih itu (aamiin) tanggung jawabnya berat, masalah hidup dan mati orang lain. Duhduhduh berat bgt ya, itulah konsekuensi bung!
Nah selain kesehatan, gue mau cerita tentang diskusi dengan pemerintah setempat (kebetulan dapat jadwal jaga). Ternyata daerah Tanggamus yang di daerah pegunungan ini kaya akan hasil kebun: manggis, salak. Bahkan pendapatan daerah ini tertinggi ketiga di kawasan Lampung. Sayangnya kenapa daerah ini terkesan pedalaman karena aksesnya susah. Jalan-jalan disana selain jalan besar ga mulus, bebatuan dan licin. Pasar pun jauh, puskes terdekat 30 menit. Listrik alhamdulillah bagus, air diolah dari bendungan batu tegi yang gue pun baru tau ternyata bendungan terbesar se-Asia Tenggara namun sayangnya belum merata, sinyal yang yaa sabar-sabar aja. Rata-rata penduduk di desa Batu Tegi ini orang jawa bahkan beberapa ada yang sunda.
Ini pertanyaan dan jawaban yang paling menarik menurut gue + masih gue hafal selama diskusi:
Q: kenapa jalanan di desa saya sudah beberapa tahun ini tidak dibenarkan?
A (bapak dari PU): (sudah diedit sedemikian mungkin supaya lebih mudah dipahami) karena jalanannya sering banjir, aspal pun tak mempan. Maka dibiarkan begitu adanya. Tapi sudah dibuat bendungan dipinggir jalan, sempat berhasil nampung hujan tapi karena kerjabakti warga setempat (gue dengernya begitu) di bendungan banya sedimen-sedimen yang waktu hujan ga bisa lagi menampung. Sebenernya bisa tapi bakai beton, dan 1 meter beton itu butuh puluhan juta, jalan kampung adik 20 km lebih, butuh triliunan, dik!
Q: kawasan Kiluan lumba-lumbanya mulai punah? Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah hal tersebut?
A: lumba-lumba di Kiluan punah karena ekosistemnya terganggu. Makanan mereka ikan kecil-kecil sudah banyak ditambak manusia, sehingga lumba-lumba bergeser menjauh mencari ikan-ikan. Sekarang di daerah kiluan sudah dilarang untuk siapa pun menambak atau memancing, dan semua dana yang terkumpul digunakan untuk perawatan fasilitas di daerah tersebut.
Diskusi yang singkat kalau kata gue, sebenernya kalau pun boleh dilanjut aja berhubung pemerintah setempat terbuka dengan mahasiswa hehehe. Disini gue mulai terbuka, ga sepenuhnya salah pemerintah, dan ga sepenuhnya salah masyarakat. Memang butuh kerjasama diantara kedua pihak, pemerintah yang menyediakan, masyarakat yang menjaga :)
Selain kesehatan dan daerah, serunya 6 hari disini adalah punya keluarga baru, kenalan baru. Jaga pos itu emang ngebosenin karena kita nunggu panggilan. Tapi karena ada panitia tim K2 yang gokil-gokil dan seru-seru + KSR PMI yang punya banyak pengalaman kita sering sharing a.k.a woro-woro. Apapun itu. Dari woro-woro-in panitia lain, orang lain, kesehatan, sampai yang horor. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu dan kesempatan :D
++ foto-foto di Tanggamus
Jadi, alkisah, ikutlah diri ini sukarela jadi TBM KWI FMIPA di Tanggamus selama 6 hari. Gue ga sendirian, ada Lulu, Nana, Gusti, Rosy, Yudha, dan Brandon yang berangkat. Mungkin kalau gue orang yang perhitungan banget, pengalaman TBM ini bakal disiain, karena membuang waktu liburan hampir 2 minggu itu boros terutama buat anak rantauan. Sayangnya gue ga pernah sekalipun jadi TBM dan pingin punya pengalaman seperti kawan-kawan yang udah pernah dan terlebih daftar mimpi yang harus dicoret lg hehe. Pengalaman tambahan jadi pj bus (again) setelah munjam, untungnya ga 'berantem' sama pak supir :')
Sampai di Tanggamus ternyataaa, so pedalaman tapi di daerah dataran tinggi. Sepanjang perjalanan rumah-rumah warga sebagai home stay terlihat. Jumlahnya ada 50 rumah untuk peserta + 4 rumah panitia, dengan total keseluruhan kira-kira 1000 orang. Banyak. Banget. Parahnya lagi jarak 50 peserta itu ga deket atau sebrang-sebrangan. Soo jauh, bahkan ada rumah yang harus dijangkau dengan motor panitia :') Jadi ketika ada acara di pusat acara, mereka harus jalan, sejauh jalanan yang membawa mereka ke bawah dan penuh lika-liku. Kalau acaranya malam, mereka diizinkan kalau ga ikut (iyalaah jalan jauh dan gelap ga ada yang mau juga).
Hari pertama: pembukaan + perkenalan dengan tim medis dari panitia dan temen-temen KSR PMI di kampus. Kerjaan pertama, terpadat, dan tergupek. Acara mulai siang dan matahari sangat terik, ditambah peserta yang jalan kaki dan sebagian memiliki riwayat penyakit masing-masing. 3 peserta asma dan 1 demam. Malamnya aman.
Hari-hari berikutnya dengan rutinitas yang sama (re: jaga pos dan keliling), makan siang berjama'ah, bersih-bersih, makan malam berjama'ah, check malam. Rata-rata banyak keluhan pusing, batuk, flu, demam tapi ga lama, pegel-pegel (daerah yang jauh). Bahkan banyak pengalaman yang ditelpon bilangnya demam dan ketika sampai disana ternyata udah ga demam, dan sebagainya. Ada yang lagi demam tapi malah dateng ke acara, ada yang demam malah berjemur, ada yang demam tapi sempet masak, ada yang ..... pokoknya macem-macem.
Terlebih lagi gue mulai mengerti perasaan tim kesehatan: ternyata selain ilmu dan anamnesis, pasien yang kurang kooperatif juga mempengaruhi proses diagnosis dan terapi. Banyak cerita kelompok tim K2 yang bertugas ketemu dengan peserta yang ditanya keluhan dkk cuma jawab "hmm" dan isyarat lainnya. Entahlah kenapa mereka terlalu tertutup :')
Selain itu edukasi sangaaaat perlu! Terutama pemberian dan cara makan obat. Jujur kami masih semester 3-mau-ke-4 dan kita cuma tau obat-obatan umum dan yang udah dikuliahin. Dan melihat kondisi peserta juga yang gejalanya baru muncul di hari pertama atau dadakan, kami belum berani kasih apa-apa, terutama keluhan "demam". Selain itu karena terngiang-ngiang omongan dosen, kami ingin mengurangi ketergantungan obat padahal kalau dibawa istirahat toh juga sembuh (efek jarak jauh). Jadi as long as belum parah dan butuh banget obat, kami cuma bisa kasih vitamin dan edukasi karena yang lebih tau keadaan diri sendiri ya peserta tersebut :"
Tapi ada kasus yang berat: demam tifoid, mimisan idiopatik, asma yang parah karena ternyata sebelumnya ada riwayat kecelakaan. Mereka harus pulang demi keselamatan mereka.
Selama 6 hari ini berasa banget kalau ternyata ilmu yang udah 3 semester itu kurang, terutama farmako. Entah emang kurang atau gue-nya yang ga pernah fokus, ga detail dan belum serius belajar? :"
Yang pasti 6 hari ini diri gue tertampar, banyak hal yang harus dibenahi, karena ketika udah pakai jas putih itu (aamiin) tanggung jawabnya berat, masalah hidup dan mati orang lain. Duhduhduh berat bgt ya, itulah konsekuensi bung!
Nah selain kesehatan, gue mau cerita tentang diskusi dengan pemerintah setempat (kebetulan dapat jadwal jaga). Ternyata daerah Tanggamus yang di daerah pegunungan ini kaya akan hasil kebun: manggis, salak. Bahkan pendapatan daerah ini tertinggi ketiga di kawasan Lampung. Sayangnya kenapa daerah ini terkesan pedalaman karena aksesnya susah. Jalan-jalan disana selain jalan besar ga mulus, bebatuan dan licin. Pasar pun jauh, puskes terdekat 30 menit. Listrik alhamdulillah bagus, air diolah dari bendungan batu tegi yang gue pun baru tau ternyata bendungan terbesar se-Asia Tenggara namun sayangnya belum merata, sinyal yang yaa sabar-sabar aja. Rata-rata penduduk di desa Batu Tegi ini orang jawa bahkan beberapa ada yang sunda.
Ini pertanyaan dan jawaban yang paling menarik menurut gue + masih gue hafal selama diskusi:
Q: kenapa jalanan di desa saya sudah beberapa tahun ini tidak dibenarkan?
A (bapak dari PU): (sudah diedit sedemikian mungkin supaya lebih mudah dipahami) karena jalanannya sering banjir, aspal pun tak mempan. Maka dibiarkan begitu adanya. Tapi sudah dibuat bendungan dipinggir jalan, sempat berhasil nampung hujan tapi karena kerjabakti warga setempat (gue dengernya begitu) di bendungan banya sedimen-sedimen yang waktu hujan ga bisa lagi menampung. Sebenernya bisa tapi bakai beton, dan 1 meter beton itu butuh puluhan juta, jalan kampung adik 20 km lebih, butuh triliunan, dik!
Q: kawasan Kiluan lumba-lumbanya mulai punah? Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah hal tersebut?
A: lumba-lumba di Kiluan punah karena ekosistemnya terganggu. Makanan mereka ikan kecil-kecil sudah banyak ditambak manusia, sehingga lumba-lumba bergeser menjauh mencari ikan-ikan. Sekarang di daerah kiluan sudah dilarang untuk siapa pun menambak atau memancing, dan semua dana yang terkumpul digunakan untuk perawatan fasilitas di daerah tersebut.
Diskusi yang singkat kalau kata gue, sebenernya kalau pun boleh dilanjut aja berhubung pemerintah setempat terbuka dengan mahasiswa hehehe. Disini gue mulai terbuka, ga sepenuhnya salah pemerintah, dan ga sepenuhnya salah masyarakat. Memang butuh kerjasama diantara kedua pihak, pemerintah yang menyediakan, masyarakat yang menjaga :)
Selain kesehatan dan daerah, serunya 6 hari disini adalah punya keluarga baru, kenalan baru. Jaga pos itu emang ngebosenin karena kita nunggu panggilan. Tapi karena ada panitia tim K2 yang gokil-gokil dan seru-seru + KSR PMI yang punya banyak pengalaman kita sering sharing a.k.a woro-woro. Apapun itu. Dari woro-woro-in panitia lain, orang lain, kesehatan, sampai yang horor. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu dan kesempatan :D
++ foto-foto di Tanggamus
![]() |
Yak, dibelakang kami adalah bendungan batu tegi~ |
![]() |
Bersama mba kakung dan mba putri yang sudah bersedia rumahnya diacak-acak tim K2 |
![]() |
Full team: tim K2, KSR PMI, PAKIS + gubma FMIPA |
Komentar