Asal Mula

Hai hai! H-3 ku pergi ke Lampung hiks. Liburan 2 minggu ini hmm kurang produktif. Tapi akhirnya kesampaian juga khatam karyanya Tere Liye, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin". Ku telah mememdam apa makna dibalik judulnya selama 2 tahun dan terbalas semua dalam 4 jam. Well, hmm sebenernya planning liburan ini mau beli buku "Hujan Bulan Juni" karya Sapardji Djoko Damono. Eh ternyata budget tidak mendukung. Ya sudah....




Testimoni setelah baca "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" adalah maknanya: ikhlas. Seperti biasa Tere Liye menceritakan alur dengan baik, menyentuh dengan kalimat ringannya, namun akhirnya kita yang menentukan. Menurutku idenya simple, dalam 1 jam kita menatap suatu view dan beribu cerita masa lalu silih berganti datang dan pergi. Kisah roman yang (menurutku) ngeselin. Haha diawal bikin tersentuh melihat perjuangan cinta dalam diam tapi ditutup dengan kekecewaan. Entahlah.

Lagi-lagi, bukan itu yang mau ku ceritakan, duh! Aku memang belajar mencintai sastra, tapi jujur, aku bukanlah sosok yang puitis dan romantis dengan kata-kata. Tapi aku menikmati romantisme kata-kata sastrawan haha.

Awalnya aku kenal Tere Liye dari seorang kakak yang sempat ku kagumi di SMA. Takra paskib 1 angkatan di atasku. Cantik, tegas, pintar dan makin jelas dengan kacamatanya, ramah, dan asyik. Awalnya aku kepo dan ketemulah twitternya, isi TLnya waktu itu tentang kutipan Tere Liye. Aku jatuh cinta dengan kalimat simple namun ngena-nya. Awalnya aku cuek, tapi lama-lama teman-teman disekelilingku pun menyukainya dan aku baca sedikit (lupa judulnya waktu itu). Akhirnya buku pertama yang ku beli adalah "Bidadari Surga". Sungguh nagih bagi seseorang yang anti novel sepertiku.

Waktu bimbel ada sehari aku mendapat matkul bahasa. Gurunya asyik, pecinta sastra juga. Beliau mengaitkan materi waktu itu dengan puisinya Chairil Anwar, lalu merembet ke Pramoedya Ananta Toer. Beliau bercerita mengenai tetralogi novel beliau. Aku terpukau, aku terpesona dengan cerita beliau. Penasaran, tapi aku berpikir, "Ah, dimana aku mendapatkan buku lama itu?"

Lalu berlanjutlah dengan kedekatanku bersama Dian. Entah aku lupa mulai kelas berapa aku mulai rajin ke perpustakaan. Awalnya karena pingin pinjem buku biologi dan beralih ke topik islam. Dian-lah yang memperkenalkan aku dengan sastra. Sapardji Djoko Damono. Dian bercerita dan bahkan hapal salah satu puisi, lengkap! Kerennya lagi Dian tau Pramoedya Ananta Toer! Ya, kami klop banget waktu itu bahkan planning survey buku kesukaan kita di Kober. Dan ulang tahunku yang ke-18, aku mendapatkan tetralogi itu lengkap, masih bagus.

1 buku telah usai sebelum aku ke Lampung (lagi-lagi aku lupa judulnya). Banyak pelajaran yang ku dapat. Tetralogi itu masing-masingnya tebal. Aku yang dulu anti novel sekali lagi menjadi cinta membacanya. Sekarang rasanya pingin dibaca ulang, tapi masih nyari dimana buku-bukunya ibu taruh haha.

Dan lagi-lagi saat kuliah ini aku dikenalkan dengan sosok Soe Hok Gie. Sebenernya aku belum pernah membaca karyanya bahkan nonton filmnya aja belum pernah. Namun rasanya familiar dengan nama tersebut.




Rasanya senang bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan dan hobi yang sama dengan kita. Rasanya senang bisa berbagi info dan cerita buku favorit kita. Rasanya tak akan pernah bosan dibahas. Duh, sekali lagi, aku bukanlah penulis yang puitis lagi romantis dengan kata-kata.

Komentar