Hujan di Bulan Desember

Rintik-rintik lembut itu terus berjatuhan semakin banyak. Hawa dingin di luar membuat embun tampak pada jendela yang ku tatapi. Gelap. Aku hanya melihat refleksi diriku yang menatap sendu langit gelap. Pikirku kacau. Fokusku terurai. Bahkan aku tak mampu mengarahkan akal sehatku dimana seharusnya ia berada. Ruangan yang ramai ini semakin sesak. Sesak otak, sesak hati, sesak napas. Sungguh! Aku tak kuat lagi menahannya.

Semuanya terlihat normal, mungkin hanya aku yang terdiam. Semuanya terlihat riang, mungkin hanya aku yang termenung. Seorang diri di pojok meja ini, hanya melihat dari kejauhan gemuruh tawa teman-teman disana. Perasaan itu kian muncul kembali. Entah aku yang semakin lemah atau memori itu semakin kuat. Entah diri ini yang begitu terlena atau engkau yang tak mau menerima. Aku hanya dapat memandang kosong. Jauh. Jauh menembus masa lampau.

Desember ini terus bersedu dengan periode hujan yang tak tentu. Kadang siang, kadang petang, bahkan kadang malam. Bisa jadi seperti perasaanku pada kalian saat ini. Fluktuatif. Naik-turun tak menentu. Aku tak tau ada batas apa diantara kita karena aku merasa tempatku berpijak dengan tempat kalian berpijak berbeda. Bagaikan terpisah di dua zona yang berbeda. Aku barat, kalian timur. Aku pun tak tau ada batas setipis apa diantara kita karena aku merasa kesepian dan tidak dianggap hanya beda tipis.

"Kamu kenapa?" pertanyaan itu selalu kalian lontarkan.

"Ah, tidak apa-apa," jawabku dengan senyum hambar seakan-akan memang tidak apa-apa atau terlihat sedang tidak enak badan.

Taukah kalian memang benar badanku tidak sehat karena hatiku pun tidak lagi sehat. Terlalu banyak gejolak berkecamuk di hati. Semua spekulasi, semua andai-andai, dan semua kepalsuan itu terus muncul tiada habis.
Aku lelah seperti ini! Aku bukan bayanganmu yang dapat kau abaikan karena aku selalu hadir. Aku juga bukanlah makhluk terhina yang harus kau singkirkan. Rasanya ingin aku menghilang di antara kalian dan menyaksikan dari jauh apakah salah satu di antara kalian menyadari kealfaanku dan mencari sosok diriku.

Aku manusia,
punya rasa,
punya rupa

Bait itu terus terlintas dalam benakku. Namun, ternyata bukan aku yang merasakan. Tiga orang lain di ruang ini juga merasakan yang sama.

Kenapa tali-tali itu kembali merenggang? Kenapa tali-tali itu semakin rapuh? Kenapa tali-tali itu menjadi kusam? Aku semakin merasa bahwa kata 'persahabatan' hanya bohong semata. Kau selalu mengatakannya disaat kau membutuhkannya untuk menyelesaikan masalahmu saja. "Ini demi persahabatan," ucapmu. Namun ketika aku membutuhkanmu memohon hal yang sama, "Ini demi persahabatan," kemanakah kau berada?!

Inikah yang selalu dielu-elukan tentang persahabatan yang katanya mengerti satu sama lain? Buktinya kau tidak! Kau saja tak tau saat dimana aku ingin kau sapa seperti dirimu yang sendirian dan aku menyapamu disela-sela keheningan pribadimu.

"The loneliest people are the kindest. The saddest people smile the brightest. The most damaged people are the wisest."

Kau percaya quote itu? Karena aku percaya. Sangat percaya! Selama ini aku sendirian melakukan hal-hal yang bisa ku atasi sendiri. Bukan! Maksudku hal-hal yang harus ku atasi sendiri. Semuanya. Karena percuma aku memohon bantuanmu, duduk di tengah-tengah lingkaranmu pun aku tak ada. Berada di kerumunanmu pun aku tak mampu. Mungkin kalian menganggapku mandiri, mungkin kalian menganggapku mampu, dan mungkin kalian menganggapku kuat.

Ya! Aku kuat berjalan sendirian di koridor ini. Aku kuat tertawa sendirian, melepas penat di ruangan kecil ini. Aku kuat menangis tersedu dalam batin ini. Aku kuat tersenyum sendirian dalam lingkup ini. Aku pun kuat kokoh berdiri menapaki jalan ini sendiri.

Tetapi aku tak kuasa mengejarmu di koridor ini. Aku tak kuasa bercanda dalam ruangan ini. Aku tak kuasa menahan tangis batin ini. Aku tak kuasa menyimpan kepalsuan simpul dalam wajah ini. Aku pun tak kuasa terus berdiri kokoh menapaki jalan ini.

Aku tak bisa tanpamu kawan! Dimana kata "persahabatan" yang dulu engkau elu-elukan?! Batas apa sebenarnya yang menghalangi ikatan batin kita?! Apakah kau tak lelah tertawa diatas penderitaan sahabat kecilmu ini, yang selama ini hanya kau anggap sebagai bayangan? Apa aku yang terlalu naif ingin engkau pedulikan?

Kawan, aku rindu kita yang dulu.....
Aku rindu kita yang menapaki kejamnya dunia karena ada engkau yang menggenggam tanganku erat dan tersenyum padaku bahwa kita MAMPU menyelesaikan semuanya bersama...

"Brak!"

"Dinoo!!" teriak Tia dan membuatku terhentak lepas dari lamunan.

"Maaf. Maaf Tia, ga maksud kok. Serius. Ini," Dino menyodorkan handphone I-Phone kesayangan Tia yang tak sengaja terbanting jauh.

"Mi, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," sapa Andreas sudah berada di depanku dan ia menyadari perubahanku belakangan ini.

"Ah, umm, gue ga apa-apa kok. Cuma ngeliat hujan aja. Sekarang jadi sering hujan," jawabku asal.

"Iya nih, hujan di bulan Desember itu sesuatu. Katanya bikin orang-orang yang merasakan ikut terbawa arusnya. Hati-hati Ami, bisa-bisa kamu ikutan terbawa arus, hehe,"

"Oh, gitu. Hehe bisa aja," dan itu pun adalah tawa paksa yang terakhir aku buat.

Komentar